1.
Pengertian
Penalaran
Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak
dari pengamatan indera (pengamatan
empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan
yang sejenis juga akan terbentuk proposisi –
proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap
benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak
diketahui. Proses inilah yang disebut menalar.
Dalam penalaran,
proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens)
dan hasil kesimpulannya disebut dengan konklusi (consequence).
2.
Proposisi
Penalaran bukan saja dapat dilakukan dengan
mempergunakan fakta-fakta yang masih berbentuk polos, tetapi dapat juga
dilakukan dengan mempergunakan fakta-fakta yang telah dirumuskan dalam
kalimat-kalimat yang berbentuk pendapat atau kesimpulan. Kalimat-kalimat
semacam ini, dalam hubungan dengan proses berpikir tadi disebut proposisi.
Proposisi dapat kita batasi sebagai pernyataan yang dapat dibuktikan
kebenarannya atau dapat ditolak karena kesalahan yang terkandung di dalamnya.
Sebuah pernyataan dapat dibenarkan bila terdapat bahan-bahan atau fakta-fakta
untuk membuktikannya. Sebaliknya sebuah pernyataan atau proposisi dapat
disangkal atau ditolak bila terdapat fakta-fakta yang menentangnya.
Keempat kalimat diatas merupakan proposisi;
kedua kalimat yang pertama dapat dibuktikan kebenarannya, dan kedua kalimat
terakhir dapat ditolak karena fakta-fakta yang ada menentang kebenarannya.
Tetapi keempatnya tetap merupakan proposisi.
3.
Inferensi dan
Implikasi
Tiap proposisi dapat mencerminkan dua macam
kemungkinan. Pertama, ia merupakan ucapan-ucapan pada faktual sebagai akibat
dari pengalaman atau pengetahuan seseorang mengenai sesuatu hal. Kedua,
proposisi dapat juga merupakan pendapat, atau kesimpulan seseorang mengenai
sesuatu hal. Kalimat-kalimat seperti “Tadi terjadi sebuah tabrakan di depan
Universitas” merupakan sebuah proposisi yang bersifat pernyataan actual, yaitu
sebuah pernyataan yang menyangkut fakta atau peristiwa yang dialami oleh
seseorang.
Dengan ilustrasi sebagai yang dikemukakan di
atas, baik ucapan faktual maupun sebuah pendapat atau kesimpulan, keduanya
merupakan proposisi, karena keduanya dapat dibuktikan kebenarannya atau
kemustahilannya.
Kata inferensi berasal dari kata Latin,
inferred yang berarti menarik kesimpulan. Kata implikasi juga berasal dari
bahassa Latin, yaitu dari kata impilcare yang berarti melibat atau merangkum.
Dalam logika, juga dalam bidang ilmiah lainnya, kata inferensi adalah
kesimpulan yang diturunkan dari apa yang ada atau dari fakta-fakta yang ada.
Sedangkan implikasi adalah rangkuman, yaitu sesuatu dianggap ada karena sudah
dirangkum dalam fakta atau evidensi itu sendiri. Banyak dari kesimpulan sebagai
hasil dari proses berpikir yang logis harus disusun dengan memperhatikan
kemungkinan-kemungkinan yang tercakup dalam evidensi (=implikasi), dan
kesimpulan yang masuk akal berdasarkan implikasi (=inferensi).
4.
Wujud Evidensi
Dalam wujudnya yang paling rendah evidensi
itu berbentuk data atau informasi. Yang dimaksud dengan data atau informasi adalah
bahan keterangan yang diperoleh dari suatu sumber tertentu. Biasanya semua
bahan informasi berupa statistik, dan keterangan-keterangan yang dikumpulkan
atau diberikan oleh orang-orang kepada seseorang, semuanya di masukkan dalam
pengertian data (apa yang diberikan) dan infromasi (bahan keterangan). Pada
dasarnya semua data dan informasi harus diyakini dan diandalkan kebenarannya.
Untuk itu penulis atau pembicara harus mengadakan pengujian atas data dan
informasi tersebut, apakah semua bahan keteraangan itu merupakan fakta.
Fakta adalah sesuatu yang sesungguhnya
terjadi, atau sesuatu yang ada secara nyata. Bila seorang mengatakan bahwa ia
telah melihat kapal musuh mendarat di sebuah pantai yang sepi, itu baru
merupakan informasi.
Ada kemungkinan bahwa bisa terjadi kesalahan
dalam evidensi itu. Dalam hal ini pembela akan mengajukan evidensi yang lain
dengan mengatakan bahwa seorang yang lain telah mencuri pisau itu dan telah
mempergunakannya untuk melakukan pembunuhan. Secara diam-diam pisau itu
dikembalikan dan tanpa sadar telah dipegang oleh pemiliknya itu. Fakta-fakta
yang dipergunakan sama, hanya proses penalaran yang disusun berdasarkan
fakta-fakta itu berlainan.
5.
Cara Menguji Data
a. Observasi
Fakta-fakta yang diajukan sebagai evidensi
mungkin belum memuaskan seorang pengarang atau penulis. Untuk lebih meyakinkan
dirinya sendiri dan sekaligus dapat menggunakannya sebaik-baiknya dalam usaha
meyakinkan para pembaca, maka kadang-kadang pengarang merasa perlu untuk
mengadakan peninjauan atau observasi singkat untuk mengecek data atu informasi
itu.
Tiap pengarang atau penulis harus mengadakan
pengujian lagi dengan mengobservasi sendiri data atau informasi itu. Sesudah
mengadakan observasi, pengarang dapat menentukan sikap apakah informasi atau
data itu sesungguhnya merupakan fakta atau tidak, atau barangkali hanya
sebagian saja yang benar sedangkan sebagian lain hanya didasarkan pada perasaan
dan prasangka para informan.
b. Kesaksian
Keharusan menguji data dan informasi, tidak
selalu harus dilakukan dengan observasi. Kadang-kadang sangat sulit untuk
mengharuskan seseorang mengadakn obeservasi atas obyek yang akan dibicarakan.
Kesulitan itu terjadi karena waktu, tempat, dan biaya yang harus dikeluarkan.
Untuk mengatasi hal itu penulis atau pengarang dapat melakukan pengujian dengan
meminta kesaksian atau keterangan dari orang lain, yang tidak mengalami sendiri
atau menyelidiki sendiri persoalan itu.
Demikian pula halnya dengan semua pengarang
atau penulis. Untuk memperkuat evidensinya, mereka dapat mempergunakan
kesaksian-kesaksian orang lain yang telah mengalami sendiri perisitiwa
tersebut.
c. Autoritas
Cara ketiga yang dapat dipergunakan untuk
menguji fakta dalam usaha menyusun evidensi adalah meminta pendapat dari suatu
autoritas, yakni pendapat dari seorang ahli, atau mereka yang telah menyelidiki
fakta-fakta itu dengan cermat, memperhatikan semua kesaksian, menilai semua
fakta kemudian memberikan pendapat mereka sesuai dengan keahlian mereka dalam
bidang itu.
6.
Cara Menguji Fakta
a. Konsistensi
Dasar pertama yang dipakai untuk menetapkan
fakta mana yang akan dipakai sebagai evidensi adalah kekonsistenan. Sebuah
argumentasi akan kuat dan mempunyai tenaga persuasif yang tinggi, kalau
evidensi-evidensinya bersifat konsisten, tidak ada satu evidensi bertentangan
atau melemahkan evidensi yang lain.
b. Koherensi
Dasar kedua yang dapat dipakai untuk
mengadakan penilaian fakta mana yang dapat dipergunakan sebagai evidensi adalah
masalah koherensi. Semua fakta yang akan digunakan sebagai evidensi adalah masalah
koherensi. Semua fakta yang akan dipergunakan sebagai evidensi harus pula
koheren dengan pengalaman-pengalaman manusia, atau sesuai dengan pandangan atau
sikap yang berlaku. Bila penulis menginginkan agar sesuatu hal dapat diterima,
ia harus meyakinkan pembaca bahwa karena pembaca setuju atau menerima
fakta-fakta dan jalan pikiran yang menemukakannya, maka secara konsekuen pula
pembaca harus menerima hal lain, yaitu konklusinya.
7.
Cara Menilai
Autoritas
a. Tidak Mengandung Prasangka
dasar pertama yang perlu diketahui oleh
penulis adalah bahwa pendapat autoritas sama sekali tidak boleh mengandung
prasangka. Yang tidak mengandung prasangka artinya pendapat itu disusun
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh ahli itu sendiri, atau
didasarkan pada hasil-hasil eksperimental yang dilakukannya. Pengertian tidak
mengandung prasangka juga mencakup hal lain, yaitu bahwa autoritas itu tidak
boleh memperoleh keuntungan pribadi dari data-data eksperimentalnya.
b. Pengalaman dan Pendidikan Autoritas
dasar kedua yang harus diperhitungkan penulis
untuk menilai pendapat suatu autoritas adalah menyangkut pengalaman dan
pendidikan autoritas. Pendidikan yang diperolehnya harus dikembangkan lebih
lanjut dalam kegiatan-kegiatan sebagai seorang ahli yang diperoleh melalui
pendidikannya tadi.
Walaupun jaman kita ini sudah begitu condong
atau cenderung dengan berbagai macam spesifikasi, namun kita tidak boleh
mengabaikan keahlian seseorang dalam beberapa macam bidang tertentu.
c. Kemashuran dan Prestise
faktor ketiga yang harus diperhatikan oleh
penulis untuk menilai autoritas adalah meneliti apakah pernyataan atau pendapat
yang akan dikutip sebagai autoritas itu hanya sekedar bersembunyi di balik
kemashuran dan prestise pribadi di bidang lain.
Sering terjadi bahwa seseorang yang menjadi
terkenal karena prestise tertentu, dianggap berwenang pula dalam segala bidang.
Seorang yang menjadi terkenal karena memperoleh lima medali emas
berturut-turut dalam pertandingan lomba lari jarak lima ribu meter,
diminta pendapatnya tentang cara-cara pemberantasan korupsi.
d. Koherensi dengan Kemajuan
hal keempat yang perlu diperhatikan penulis
argumentasi adalah apakah pendapat yang diberikan autoritas itu sejalan dengan
perkembangan dan kemajuan jaman, atau koheren dengan pendapat atau sikap
terakhir dalam bidang itu.
Pengetahuan dan pendapat terakhir tidak
selalu berarti bahwa pendapat itulah yang terbaik. Tetapi harus diakui bahwa
pendapat-pendapat terakhir dari ahli-ahli dalam bidang yang sama lebih dapat
diandalkan, karena autoritas-autoritas semacam itu memperoleh kesempatan yang
paling baik untuk membandingkan semua pendapat sebelumnya, dengan segala
kebaikan dan keburukannya atau kelemahannya, sehingga mereka dapat mencetuskan
suatu pendapat yang lebih baik, yang lebih dapat dipertanggung jawabkan.
Sebab itu untuk memberi evaluasi yang tepat
terhadap autoritas yang dikutip, pengarang harus menyebut nama autoritas,
gelar, kedudukatif, dan sumber khusus tempat kutipan itu dijumpai. Bila mungkin
penulis harus mengutip setepat-tepatnya kata-kata atau kalimat autoritas
tersebut.
Untuk memperlihatkan bahwa penulis
sungguh-sungguh siap dengan persoalan yang tengah diargumentasikan, maka
sebaiknya seluruh argumentasi itu jangan didasarkan hanya pada satu autoritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar